Sabtu, 22 September 2012

syawalan di Pekalongan

Syawalan di Pekalongan
Hasil penelitian Bagus Ariyanto tentang tradisi syawalan di Krapyak Pekalongan (2010)  menyebutkan bahwa tradisi syawalan merupakan tradisi keagamaan yang dilakukan masyarakat Krapyak Kidul, Pekalongan dengan menggunakan simbol-simbol yang diwujudkan dalam perlengkapan tradisi syawalan, yaitu lopis, daun pisang, tali, bambu, dan lotisan. Resepsi masyarakat terhadap makna simbolik tradisi syawalan termasuk dalam kategori tahu dan percaya. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara tak berstruktur terhadap 30 orang narasumber, sebanyak 73,33 % masyarakat menyatakan tahu dan percaya terhadap makna simbolik tradisi syawalan. Mereka tahu dan percaya bahwa lopis merupakan simbol persatuan dan kesatuan masyarakat Krapyak Kidul, daun pisang merupakan simbol perjuangan yang tidak pernah berhenti, tali merupakan simbol hubungan manusia dengan sesamanya, bambu merupakan simbol hubungan manusia dengan Allah SWT, dan lotisan merupakan simbol keberagaman masyarakat Krapyak Kidul.
Tidak jauh beda dengan Krapyak Kidul, warga masyarakatnya menggelar syawalan dengan menyajikan kepada para pengunjung lopis gratis. Warga bisa menikmati makanan yang terbuat dari beras ketan dan kelapa ini secara gratis selama acara syawalan berlangsung. Bahkan lopis raksasa yang diperebutkan menghabiskan bahan baku beras ketan sebanyak lima kuintal dan ratusan daun pisang untuk membungkus makanan. Sumber dana pembuatan lopis berasal dari warga setempat yang ingin melestarikan tradisi syawalan.
Kabupaten Pekalongan secara historis tidak mempunyai tradisi ritual dan prosesi syawalan yang secara unik dan khusus dijalani masyarakatnya. Orang Pekalongan lebih mengenal tradisi syawalan Lopis Raksasa di Krapyak Pekalongan. Namun dalam masa kepimimpinan Bupati Pekalongan Drs. A.Antono (Tahun 2001-2006) setelah prosesi kepindahan Ibukota Kabupaten Pekalongan yang semula di Jl. Nusantara 1 Kota Pekalongan ke Jl. Alun-alun Utara No. 1 Kajen, untuk nguri-uri budaya Jawa dan tardisi keagamaan (syiar agama) maka sekaligus untuk memeriahkan Kajen dan sekitarnya sebagai Ibukota Kabupaten yang baru, dikreasikan suatu acara mengikuti tradisi syawalan, yang dilakukan dengan bentuk kirab Gunungan Sego Megono, yang digelar di Obyek Wisata Alam Linggo Asri. Kegiatan ini sekaligus dalam rangka meramaikan wisata di Linggoasri yang memang rutin sejak tahun-tahun sebelumnya selalu menggelar pertunjukan rakyat dan hiburan.

Megono gunungan raksasa dan nasi pincuk megono terbanyak yang dibagikan/diperebutkan kepada masyarakat dalam tradisi syawalan ini bahkan pernah mendapatkan penghargaan di rekor MURI yang secara resmi diwakili oleh Ibu Wida dengan menyerahkan piagam penghargaan bernomor : 2187/R.MURI/X/2006 kepada Pemerintah Kabupaten Pekalongan atas prestasi penyajian nasi megono khas pekalongan dengan jumlah terbanyak.Sebagaimana diketahui bahwa "nasi bumbu megono" merupakan ciri khas makanan tradisional masyarakat Pekalongan yang telah turun temurun dan tidak akan ditemui ditempat lain di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar