Syawalan di Pekalongan
Hasil penelitian Bagus Ariyanto tentang tradisi syawalan di Krapyak Pekalongan (2010)
menyebutkan bahwa tradisi syawalan merupakan tradisi keagamaan yang
dilakukan masyarakat Krapyak Kidul, Pekalongan dengan menggunakan
simbol-simbol yang diwujudkan dalam perlengkapan tradisi syawalan, yaitu
lopis, daun pisang, tali, bambu, dan lotisan. Resepsi masyarakat
terhadap makna simbolik tradisi syawalan termasuk dalam kategori tahu
dan percaya. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara tak berstruktur
terhadap 30 orang narasumber, sebanyak 73,33 % masyarakat menyatakan
tahu dan percaya terhadap makna simbolik tradisi syawalan. Mereka tahu
dan percaya bahwa lopis merupakan simbol persatuan dan kesatuan
masyarakat Krapyak Kidul, daun pisang merupakan simbol perjuangan yang
tidak pernah berhenti, tali merupakan simbol hubungan manusia dengan
sesamanya, bambu merupakan simbol hubungan manusia dengan Allah SWT, dan
lotisan merupakan simbol keberagaman masyarakat Krapyak Kidul.
Tidak jauh beda dengan Krapyak Kidul, warga masyarakatnya menggelar
syawalan dengan menyajikan kepada para pengunjung lopis gratis. Warga
bisa menikmati makanan yang terbuat dari beras ketan dan kelapa ini
secara gratis selama acara syawalan berlangsung. Bahkan lopis raksasa
yang diperebutkan menghabiskan bahan baku beras ketan sebanyak lima
kuintal dan ratusan daun pisang untuk membungkus makanan. Sumber dana pembuatan lopis berasal dari warga setempat yang ingin melestarikan tradisi syawalan.
Kabupaten Pekalongan secara historis tidak mempunyai tradisi ritual
dan prosesi syawalan yang secara unik dan khusus dijalani masyarakatnya.
Orang Pekalongan lebih mengenal tradisi syawalan Lopis Raksasa di
Krapyak Pekalongan. Namun dalam masa kepimimpinan Bupati Pekalongan Drs.
A.Antono (Tahun 2001-2006) setelah prosesi kepindahan Ibukota Kabupaten
Pekalongan yang semula di Jl. Nusantara 1 Kota Pekalongan ke Jl.
Alun-alun Utara No. 1 Kajen, untuk nguri-uri budaya Jawa dan tardisi
keagamaan (syiar agama) maka sekaligus untuk memeriahkan Kajen dan
sekitarnya sebagai Ibukota Kabupaten yang baru, dikreasikan suatu acara
mengikuti tradisi syawalan, yang dilakukan dengan bentuk kirab Gunungan
Sego Megono, yang digelar di Obyek Wisata Alam Linggo Asri. Kegiatan ini
sekaligus dalam rangka meramaikan wisata di Linggoasri yang memang
rutin sejak tahun-tahun sebelumnya selalu menggelar pertunjukan rakyat
dan hiburan.
Megono gunungan raksasa dan nasi pincuk megono
terbanyak yang dibagikan/diperebutkan kepada masyarakat dalam tradisi
syawalan ini bahkan pernah mendapatkan penghargaan di rekor MURI yang
secara resmi diwakili oleh Ibu Wida dengan menyerahkan piagam
penghargaan bernomor : 2187/R.MURI/X/2006 kepada Pemerintah Kabupaten
Pekalongan atas prestasi penyajian nasi megono khas pekalongan dengan
jumlah terbanyak.Sebagaimana diketahui bahwa "nasi bumbu megono"
merupakan ciri khas makanan tradisional masyarakat Pekalongan yang telah
turun temurun dan tidak akan ditemui ditempat lain di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar